1. Sumpah bila
tidak dapat di ajukan bukti
Bila seorang pendakwa mendakwakan suatu hak pada orang lain,
sedangkan dia tidak mampu untuk mengajukan bukti, dan orang yang di dakwa
mengingkari hak itu, maka tidak ada cara lain selain dari sumpah dari orang
yang didakwa. Yang demikian ini berlaku kusus dalam hal harta benda dan barang;
akan tetapi tidak di perbolehkan dalam dakwaan hukum dan hudud.
Didalam hadist yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan
Ath-Tthabrani dengan isnad yang sahih, Rasulullah bersabda:
اَلْبَيِّنَةُ
عَلَى الْمُدَّعِى وَلْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ اَنْكَرَ
“bukti itu wajib
bagi orang yang mendakwa, sedang sumpah wajib bagi orang yang mengingkarinya.”
Telah diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Al-Asy’ats bin Qais, beliau berkata :
كَا نَ بَيْنِيْ
وَبَيْنَ رَجُلٍ خُصُوْمَةٌ فِىْ بِىْٔرٍ،فَاخْتَصَمْنَااِلَى رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى
اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : شَاهِدَاكَ اَوْ يَمِيْنُهَ فَقُلتُ :اِنَّهُ
يَحْلِفُ وَلَايُبَالِى. فَقَالَ: مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ يَقْتَطِعُ بِهَامَالَ
امْرِىىٍٔ مُسْلِمٍ لَقِىَ اللّٰهَ وَهُوَعَلَيْهِ غَضْبَانُ
“antara aku dengan
seorang lelaki terdapat persengketaan dalam hal ssumur. Lalu kami meminta
keadilan kepada Rasulullah saw. Beliau berkata : “Dua orang saksi darimu atau
sumpah darinya.” Aku menjawab: Dia bersumpah, dan tidak menghiraukan selainnya.
Beliau bersabda : “barang siapa melakukan sumpah yang dengannya dia mendapatkan
sebagian dari harta seorang muslim, maka dia akan bertemu dengan Allah, sedang
dia murka kepadaNya.”
Dan telah dikeluarkan
oleh Muslim dari hadits Wail bin Hujr, bahwa Nabi saw. Berkata kepada Al-Kindi
:
“apakah engkau
mempunyai bukti? “ Al-Kindi menjawab : Tidak. Beliau berkata : “maka engkau
harus menerima sumpah darinya?” Dia menjawab: “lelaki itu adalah orang yang
durhakawahai Rasulullah; dia tidak menghiraukan sumpahnya, dan dia bukanlah
orang yang mau memperhatikan norma – norma agama. Beliau berkata: “engkau tidak
mendapatkan darinya kecuali hal itu.”
Sumpah itu dengan
menyebut nama Allah atau salah satu nama dari nama- nama-Nya. Didalam hadits
menyatakan:
"مَنْ كَانَ حَالِفًافَلْيَحْلِفْ
بِاللّٰهِ اَوْلِيَصْمُتْ"
“barang siapa
bersumpah hendaklah ia bersumpah dengan menyebut nama Allah atau hendaklah dia
diam saja.”
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُمَااَنَّالنَّبِىَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لِرَجُلٍ حَلَّفَهُ: اِحْلِفْ بِاللّٰهِ الَّذِي لَااِلٰهَ اِلَّاهُوَمَالَهُ عِنْدَكَ
شَيْىٌٔ،، رواه ابوداودوالنساىٔ.
“Dari Ibnu ‘Abbas
r.a, Bahwa Nabi saw. Berkata seorang yang bersumpah di hadapan beliau:
“Bersumpahlah dengan nama Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, bahwa dia
(lawanmu) itu tidak mempunyai hak padamu.” HR Abu Dawud dan An-Nasai.
2.
Apakah
Diterima Bukti Itu Setelah Ada Sumpah ?
Apabila orang yang
didakwa bersumpah, maka di tolak dakwaan dari pendakwa. Yang demikian ini tidak
diperselisihkan lagi.
Apabila pendakwa
mengulangi dakwaannya setelah si terdakwa melakukan sumpah, sedang dia
mengajukan bukti; apakah dakwaan itu diterima?
Dalam masalah ini ada tiga
pendapat:
a)
Diantara mereka ada yang mengatakan : tidak diterima.
b)
Diantara mereka ada yang mengatakan : diterima.
c)
Dan diantara mereka ada yang memerincinya.
Mereka yang
berpendapat bahwa dakwaan itu tidak diterima ialah orang – orang yang zhahiri, Ibnu
Abu Laila dan Abu ‘Ubaid. Asy-Syaukani memperkuat pendapat ini,
katanya: Adapun keadaanya maka bukti sesudah sumpah itu tidak diterima adalah
disebabkan oleh apa yang ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw. “ Dua orang
saksi darimu atau sumpah darinya.” Sumpah itu bila diminta dari orang yang
didakwa, maka ia berdasarkan hukum yang benar; dan tidak diterima sandaran yang
bertentangan dengannya sesudah hukum yang benar itu dilaksanakan, sebab tidak
di perboleh dari masing – masing dari keduanya itu kecuali dugaan semata –
mata. Sedangkan dugaan tidak dibatalkan dengan dugaan.
Mereka yang
berpendapat bahwa dakwaan itu diterima ialah madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali,
Thawus, Ibrahim An-Nasa’i dan Syuraih. Mereka mengatakan: “bukti yang adil
itu lebih berhak daripada sumpah yang palsu”. Pendapat itu adalah pendapat
dari Umar Ibnu Khattab. Alasan mereka ialah bahwa sumpah itu ialah
hujjah yang lemah, tidak memutuskan perselisihan. Maka diterima bukti
sesudahnya. Maka bila yang pokok telah datang, berahirlah hukum yang mengikutinya.
Sedangkan Malik dan
Al-Ghazali dari mazhab Syafi’i mengatakan: Diperbolehkannya
pendakwauntuk mengajukan bukti atas kebenaran dakwaanya setelah adanya sumpah
dari orang yang didakwa, apabila pendakwa tidak mengetahui adanya bukti sebelum
disampaikannya sumpah. Akan tetapi bila syarat ini gugur, misalnya bila
pendakwa mengetahui bahwa dia mempunyai bukti, sedang dia memilih untuk
menyumpah orang yang didakwa, kemudian dia berpendapat setelah sumpah terjadi
untuk mengajukan bukti, maka hal sedemikian ini tidak diterima. Sebab hukum
buktinya itu telah gugur dengan adanya sumpah.
3.
Tidak Berani
Bersumpah
Bila sumpah ditawarkan
kepada orang yang terdakwa karena tidak adanya bukti dari pendakwa, lalu orang
yang terdakwa itu tidak berani dan tidak mau bersumpah, maka ketikberaniannya
untuk bersumpah itu dianggap sebagai pengakuannya atas dakwaan tersebut. Sebab
seandainya dia benar dalam keingkarannya, tentulah dia tidak enggan untuk
bersumpah. Ketidakberaniann bersumpah itu terkadang terang dan terkadang ditunjukkan
dengan diam.
Dalam keadaan yang
demikian, sumpah tidak boleh dikembalikan kepada pendakwa; tidak ada sumpah
bagi pendakwa atas kebenaran dakwaan yang didakwakannya, sebab sumpah itu
selamanya dalam hal keingkaran. Dalilnya adalah ucapan Rasulullah saw ;
اَلْبَيِّنَةُ
عَلَى الْمُدَّعِى والْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ انْ اَنْكَرَ
“Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwakannya; dan sumpah
wajib bagi orang yang mengingkarinya”.
Ini adalah mazhab Hanafi dan riwayat pertama dari Ahmad.
Ahli zhahir dan Ibnu
Abu Laila berpendapat untuk tidak menganggap ketidakberanian si tertuduh untuk
bersumpah; dan bahwa ketidakberanian bersumpah itu tidak memutuskan sesuatu;
dan bahwa sumpah itu tidak menolak orang yang mendakwa; dan bahwa orang yang
didakwa hanya diperbolehkan mengakui hak pendakwa atau mengingkarinya dengan
jalan bersumpah atas kebersihan tanggungnya.
Pendapat ini diperkuat
oleh Asy-Syaukani, katanya;
Adapun ketikberanian
bersumpah maka tidak boleh dihukumi, sebab yang menjadi intinya ialah bahwa
orang yang wajib bersumpah menurut syara’ tidak menerima atau melaksanakannya.
4.
Sumpah Itu
Menurut Orang Yang Memintanya
Bila salah seorang
dari kedua belah pihak yang bersengketa itu bersumpah, maka sumpahnya itu
menrut niat hakimdan menurut orang yang memintasumpah yang haknya
bergantungdidalamnya, karena ucapan Rasulullah saw.
اَلْيَمِيْنُ عَلَى
نِيَّةِ الْمُسْتَحْلِفِ
“sumpah
itu menurut niat orang yang memintanya”
Maka apabila orang
yang bersumpah menyembunyikan takwil yang bertentangan dengan lahirnya lafaz,
maka yang demikian itu tidak diperbolehkan.
Dikatakan pula bahwa
menyembunyikan maksud itu diperbolehkan apabila orang yang bersumpah itu
terpaksa, misalnya karena dizhalimi.
5.
Hukum Itu
Ditetapkan Dengan Saksi Dan Sumpah
Bila pendakwa tidak
mempunyai bukti selain dari seorang saksi, maka dakwaanya itu dihukumi dengan
kesaksian saksi dan sumpah dari pendakwa. Seorang saksi dan sumpah itu untuk menghukumi
dalam senua masalah, kecuali Hudud dan Qisas. Sebagian ulama membatasi hukum
dengan seorang saksi dan sumpah dalam harta benda dan hal – hal yang
berhubungan dengannya. Hadits mengenai keputusan dengan seorang saksi dan
sumpah itu diriwayatkan dari Rasulullah saw. Oleh 20 sekalian orang.
Berkata Asy-Syafi’i:
keputusan dengan seorang saksi dan sumpah itu tidak bertentangan dengan
zhahirnya Al-Qur’an tidak mencegah diperbolehkannya saksi yang lebih sedikit
dari yang digariskan.
Dengan ini pula Abu
Bakar, Ali, Umar bin Abdul ‘Aziz, Jumhur Salaf (orang – orang terdahulu) dan
Khalaf (orang kemudian), di antaranya Malik dan sahabat-sahabatnya, Abu ‘Ubaid,
Abu Tsaur dan Abu Dawud memutuskan. Yang demikian ini tidak boleh ditentang.
6.
Qarinah Yang
Pasti
Qarinah adalah tanda
yang mencapai batas keyakinan. Misal apabila seseorang keluar dari sebuah rumah
yang sepi dengan rasa takut dan gugup, sedang ditangannya terdapat sebilah
pisau yang berlumuran darah. Lalu rumah itu dimasuki dan didapatkan didalamnya
seseorang yang telah disembelih pada waktu itu. Maka tidak diragukan bahwa
orang yang tadi itu adalah pembunuh dari orang yang disembelih ini; dan tidak
mungkin dibawa kemungkinan – kemungkinan yang sifatnya dugaan dan memalingkan
dari keputusan diatas, misalnya bahwa orang yang mati tersebut di atas itu
adalah bunuh diri.
Qarinah yang demikian
ini diambil oleh seorang hakim bila dia merasa pasti bahwa kenyataan itu cukup
meyakinkan.
Berkata Ibnul Qayyim:
Munculnya hak itu tidak
terhenti pada perkara tertentu yang tidak menunjukkan kekhususan, sementara ada
perkaralain yang memunculkan hak atau memperkuatkannya dengan penguat yang
tidak mungkin di ingkari atau ditolak, contoh : Orang yang mendakwakan
kehilangan sorban yang berlari di belakang orang yang membawanya, sedang
kepalanya terbuka, padahal biasanya dia idak pernah membuka kepala. Bukti dari
kejadian disini menunjukkan kebenaran pendakwa yang lebih kuat daripada
pengakuan seseorang. Pembuat syara’ jelas tidak akan mengabaikan bukti dan
petunjuk seperti ini.
Orang – orang Hanafi
menyebutkan contoh yang seperti ini pula: Apabila dua orang berselisih dalam
urusan kapal yang didalamnya terdapat tepung gandum; sedang salah seorang dari
keduanya itu seorang pedagang dan yang lain seorang tukang kapal; dan salah
satu dari kedua orang itu tidak mempunyai bukti. Maka gandum itu bagi orang yang
pertama (pedagang), dan kapal bagi orang kedua (tukang kapal). Begitu pula
tetapnya nasap seorang anak adalah dari suaminya, karena pengamalan hadits yang
mulia.
"اَلْوَلَدُلِلْفِرَاشِ"
“Anak itu bagi yang mempunyai isteri ( suami
)”
7.
Perselidihan
Suami Dan Isteri Dalam Perabot Rumah Tangga
Menurut orang – orang
Hambali, bila dua orang berselisih, dan terdapat penguat bagi salah seorang
diantara keduanya, maka perselisihan itu diputuskan menurut penguat itu.
Seandainya suami isteri berselisih dalam bahan pakaian didalam rumah, maka apa
yang pantas bagi lelaki itu untuk suami, dan apa yang pantas bagi perempuan
untuk isteri, dan apa yang pantas bagi keduanya di bagi dua dianatara mereka
secara sama. Apabila keduanya bersikeras dan berebut maka bila tangan salah
seorang dari keduanya itu lebih kuat; hal itu hukumnya seperti binatang yang di
tuntun oleh seseorang dan dinaiki oleh orang lain, maka binatang itu bagi orang
yang menaikinya karena kekuatan tangannya.
8.
Bukti
Tertulis Dan Dokumen Yang Dipercaya
Karena manusia telah
terbiasa bermu’amalah dengan menggunakan dokumen dan memeganginya, maka
sebagian ulama mutakhir memberikan fatwa diterimanya tulisan dan di
pergunakannya. Hal itu dipegangi oleh majalah Al- Ahkam Al-‘Adliyyah. Majalah
ini menerima ditetapkannya dokumen hutang – piutang, kontrak bisnis, dan lain-
lainnya, bila terhindar dari kepalsuan dan kebohongan. Maka dianggaplah dengan
ikrar dengan kinayah sebagai ikrar denag lisan.
sumber : Sayyid Sabiq
semoga bermamfaat sobat. . . Aminn
0 Response to "Sumpah"
Post a Comment