1. Definisi
Ikrar menurut bahasa berarti itsbat (menetapkan). Ini
berasala dari kata “ qarra asy – syaia, yaqirru “. Menurut syara’ ikrar bearti
pengakuan terhadapa apa yang di dakwakan. Ikrar merupakan dalil yang terkuat
untuk menetapkan dakwaan si pendakwa. Oleh karena itu mereka berkata : “ Ikrar
adalah raja dari pembuktian “. Dan dinamakan pula kesaksisan diri.
2.
Legalitasnya
Para ulama telah bersepakat bahwa ikrar itu disyari’atkan
oleh kitab dan sunnah. Allah SWT berfirman:
“wahai orang – orang
yang beriman, jadilah kamu orang yang benar – benar penegak kebenaran, menjadi
saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri” ( An – nisa : 135 ).
Sabda rasulullah saw.
“pergilah wahai unais,
kepada isteri orang ini. Bila dia mengakui ( bahwa dia telah berzina ), maka
rajamlah dia.”
3.
Syarat
dan Sahnya Ikrar
Disyaratkan untuk sahnya ikrar ada beberapa hal berikut;
Berakal, balig, ridha, dan boleh bertasharuf ( bertindak );
dan agar orang – orang yang berikrar itu tidak main – main dan tidak
mengikrarkan apa yang menurut akal dan adat kebiasaan mustahil.
Maka tidak sah sebuah ikrar dari orang yang terkena penyakit
gila, anak kecil, orang yang dipaksa, orang yang dibatasi tindaknya, orang yang
main – main, dan orang – orang yang mengikrar dengan apa yang mustahil menurut
akal dan adat kebiasaan karena kedustaannya dalam hal demikian ini jelas ;
sedang hukum tidak halal bila di tetapkan berdasarkan kedustaan.
4.
Ruju’
( Menarik kembali ) Ikrar
Apabila ikrar itu benar, maka ia wajib ditetapkan oleh orang
yang berikrar, dan tidak sah baginya untuk menarik kembali ikrarnya itu,
bilamana ikrar berhubungan dengan salah satu diantara hak – hak manusia. Adapun
bila pengakuan berhubungan dengan salah satu diantara hak hak Allah, seperti had ( tuduhan ) terhadap
zina dan minum – minuman keras, maka orang yang berikrar itu boleh mennarik
kembali ikrarnya sebab sabda Rasulullah saw;
“hindarkanlah Hudud
dengan masalah syubhad”; dan karena apa yang terdapat didalam hadis Ma’iz
pada bab Hudud.
Aliran Zhahiri menentang yang demikian ini dan meraka menolak
keabsahan penarikan ikrar baik dalam hak Allah maupun pada hak manusia.
5.
Ikrar
itu Hujjah yang terbatas
Ikrar itu adalah hujjah yang terbatas, ia tidak melampaui
selain orang yang berikrar. Seandainya ia berikrar mengenai orang lain, maka
ikrarnya mengenai orang lain ini tidak di perkenankan. Hal itu berada dengan
bukti, karena ia menjadi hujjah yang mengenai orang lain pula.
Seandainya seorang pendakwa mendakwakan hutang pada orang
lain, sedang dari sebagian mereka mengakui dan sebagian lain mengingkari, maka
pengakuan ( kikrar) itu tidak mengenai kecuali terhadap orang yang
mengikrarnya. Dan seandainya pendakwa mengajukan dakwaan yang demikian ini
denga disertai bukti, maka bukti ini mengenai terhadap semua orang yang
terdakwa.
6.
Ikrar
itu tidak dapat dibagi – bagi
Ikrar itu ialah dianggap satu pembicaraan; ia tidak diambil
sebagiannya dan di tolak akan bahagian yang lain.
7.
Pengakuan
( ikrar ) mengenai Hutang
Apabila seserorang manusia berikrar terhadap salahsatu dari
ahli warisnya mengenai hutang, maka jika ia dalam keadaan sakit yang
menyebabkan kematian, tidak sah pengakuannya itu sehingga di benarkan oleh
semua ahli waris. Hal itu disebabkan keadaannya yang sakit memungkinkan pengakuannya
ini menjadikan ahli waris lain tidak mendapatkan bagian, disebabkan keadaannya
diwaktu sakit. Adapun bila ikrarnya itu dalam keadaan sehat, maka ikrar itu
diperbolehkan. Dan kemungkinan keinginan untuk menjauhkan ahli waris yang
laindari warisan itu hanyalah semata – mata kemungkinan dan dugaan yang tidak
menghalangi kehujjahan pengakuan itu.
Bagi mazhab Syafi’i, pengakuan dari orang yang sehat itu
Syah, sebab tidak ada halangan bagi terwujudnya syarat – syarat kesehatan.
Sedangkan ikrar dari orang yang sedang sakit yg menyebabkan kematian, maka bila
ia berikrar kepada seorang asing, maka ikrarnya sah, baik yang di ikrar itu
hutang ataupun barang. Dikatakan pula bahwa ikrar itu tidak lebih dari
sepertiga.
Apabila ikrarnya itu terhadap ahli waris, maka menurut
pendapat yang kuat diantara mereka ikrar itu sah; sebab orang yang berikrar itu
dalam keadaan dimana orang yang pendusta berbicara benar, dan orang yang
berdosa bertaubat. Pada kenyataannya dalam keadaan seperti ini orang itu tidak
berikrar kecuali untuk terwujudnya warisan dan bukannya untuk menjauhkannya.
Dalam hal ini pula mereka mempunyai pendapat lain, yaitu tidak sah pengakuan,
sebab pengakuan itu mungkin untuk menjauhkan sebagian ahli waris dari warisan.
Bagi mereka, apabila seorang berikrar tentang hutang yang ada
waktu dia sehat, kemudian dia mengikrarkan yang lainnya diwaktu dalam keadaan
sakit; maka ikrarnya itu berbagi dua. Dan ikrar yang pertama tidak di utamakan
atas ikrar yang kedua. Ahmad berkata : “ orang yang sakit itu tidak boleh ikrar
kepada ahli waris secar mutlak”. Dia beralasan bahwa tidak dapat dijamin
sesudah diharamkannya wasiat terhadap ahliu waris, kalau wasiat itu di jadikan
sebagai ikrar.
Akan tetapi Al-Auzai’i dan sekumpulan para ulama
memperbolehkan orang yang sakituntuk mengikrarkan sebagiandari hartanya bagi
ahli waris, sebab orang yang hampir mati itu dijauhkan dari tuduhan, dan bahwa
perputaran hukum itu adalah menurut zhahirnya; sehingga dia tidak akan
membiarkan ikrarnya menjadi dugaan yang di perkirakan, dan bahwa urusannya itu
kembali kepada Allah.
sumber : Sayyid Sabiq
semoga bermamfaat sobat. . . Aminn
Itu dalam buku Sayid Sayyid Sabiq yang cetakan keberapa? Dan dimana di terbitkan???
ReplyDelete